loading...
Dosen Prodi Sastra Inggris UKRIDA Jakarta, Ira Rasikawati. FOTO/DOK.PRIBADI
Ira Rasikawati
Dosen Prodi Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UKRIDA Jakarta
MEDIA sosial belakangan ini diramaikan oleh #KaburAjaDulu , sebuah hashtag yang banyak digunakan oleh Generasi Z (Gen Z). Reaksi terhadap hashtag ini beragam; ada yang mendukung pilihan mereka mencari peluang lebih baik di luar negeri, sementara yang lain mengkritik bahkan mengusir mereka dengan sinis. Namun, apakah fenomena ini sekadar eskapisme dan ketidakpedulian, atau justru tanda bahwa ada sistem yang perlu diperbaiki?
Mengapa #KaburAjaDulu Menjadi Relevan bagi Gen Z?
Gen Z tumbuh di era digital dengan akses informasi yang cepat dan ekspektasi tinggi dari lingkungan sekitar. Minimnya interaksi sosial langsung membuat mereka lebih rentan terhadap kecemasan dan kesepian dibanding generasi sebelumnya (Twenge, 2017). Ketergantungan pada teknologi serta harapan akan kestabilan hidup menjadikan mereka lebih selektif dalam memilih karier dan masa depan. Tak heran jika #KaburAjaDulu muncul sebagai respons terhadap sistem yang menuntut banyak tetapi tak memberi kepastian.
Statistik menunjukkan kesenjangan besar antara pencari kerja dan lapangan kerja. Pada Agustus 2024, jumlah angkatan kerja di Indonesia mencapai 152,11 juta orang, dengan 7,47 juta orang di antaranya menganggur. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) nasional mencapai 4,91%, meningkat dari Februari 2024 yang tercatat 4,82% (BPS, 2024). Di DKI Jakarta sendiri, TPT mencapai 6,21%, lebih tinggi dari rata-rata nasional (BPS Provinsi DKI Jakarta, 2024).
Selain itu, kesenjangan upah dan biaya hidup semakin memperburuk ketidakpastian ekonomi bagi Gen Z. UMP DKI Jakarta 2025 ditetapkan sebesar Rp5.396.761 per bulan, hanya setara 36% dari total biaya hidup standar Rp14,88 juta (Antara News, 2024). Bagi fresh graduates, upah ini jauh dari cukup. Selain itu, 36,31% pekerja di Jakarta berada di sektor informal, tanpa kepastian pendapatan dan perlindungan sosial (BPS Provinsi DKI Jakarta, 2024).
Dalam situasi ini, banyak Gen Z mulai mempertimbangkan berbagai pilihan untuk masa depan mereka. Beberapa faktor yang dapat memengaruhi keputusan ini. Pertama, ketidakpastian ekonomi dan sulitnya mendapatkan pekerjaan. Banyak lulusan baru menghadapi tantangan dalam mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka. Dengan upah yang tidak mencukupi kebutuhan hidup, sebagian merasa bahwa kerja keras saja tidak cukup untuk mencapai kestabilan finansial.
Kedua, terbatasnya fleksibilitas dan kesejahteraan kerja. Di banyak negara, Gen Z memiliki lebih banyak peluang untuk bekerja dengan sistem yang lebih fleksibel, baik dalam bentuk kerja jarak jauh (remote work), jam kerja tidak kaku (flextime), hybrid, maupun berbasis digital platform. Model ini menawarkan benefit lebih baik, seperti gaji kompetitif, perlindungan tenaga kerja, dan keseimbangan kerja-hidup yang lebih sehat. Sebaliknya, di Indonesia, kebijakan tenaga kerja dan budaya kerja masih cenderung mempertahankan sistem konvensional, dengan sedikit ruang bagi fleksibilitas. Terbatasnya peluang untuk bekerja dalam sistem yang lebih dinamis membuat banyak Gen Z mempertimbangkan untuk mencari pekerjaan atau membangun karier di luar negeri, dimana fleksibilitas dan kesejahteraan tenaga kerja lebih terjamin.
Ketiga, krisis kesehatan mental. Tekanan akademik dan profesional yang semakin berat, sering kali tanpa dukungan yang memadai, menyebabkan Gen Z lebih sadar akan pentingnya kesehatan mental. Mereka cenderung menolak lingkungan kerja yang eksploitatif atau tidak manusiawi dan lebih memilih keluar demi kesejahteraan diri.
Keempat, pendidikan yang tidak menawarkan mobilitas sosial. Mayoritas sistem pendidikan di Indonesia masih berorientasi pada paradigma lama yang kurang selaras dengan tuntutan pasar kerja modern. Kurikulum yang kurang fleksibel, minimnya keterkaitan dengan industri berbasis digital, serta terbatasnya peluang pengembangan keterampilan praktis membuat banyak lulusan kesulitan bersaing di dunia kerja. Lebih dari itu, banyak yang melihat bahwa pendidikan dan kehidupan di dalam negeri tidak cukup memberikan mobilitas sosial, kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Mereka yang memilih melanjutkan studi atau bekerja di luar negeri, bukan hanya demi gaji lebih tinggi, tetapi juga untuk peluang kerja dan kehidupan yang lebih menjanjikan.
Dua Ekspresi untuk Satu Pesan
Fenomena #KaburAjaDulu bukan sekadar tren, tetapi refleksi dari realitas yang dihadapi Gen Z. Bersamaan dengan itu, #IndonesiaGelap muncul sebagai ekspresi kolektif atas ketidakpuasan terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia. Jika #KaburAjaDulu mencerminkan keputusan individu untuk mencari peluang di tempat yang lebih mendukung, #IndonesiaGelap adalah seruan untuk perubahan struktural yang lebih luas.
Walaupun sebagian mereka memilih ”kabur” dan yang lain bertahan menyuarakan tuntutan, pesan mereka senada. Anak-anak kita tidak sekadar mengeluh; mereka menuntut sistem yang lebih adil, adaptif, dan selaras dengan realitas dunia modern. Alih-alih menghakimi atau menolak aspirasi mereka, pemangku kebijakan perlu menjadikan fenomena ini sebagai pemacu reformasi. Jika tidak, eksodus talenta dan meningkatnya ketidakpercayaan hanya akan semakin memperdalam masalah yang ada.
Referensi
Badan Pusat Statistik. (2024). Keadaan angkatan kerja di Indonesia: Agustus 2024 (Vol. 46, No. 2). Badan Pusat Statistik. https://www.bps.go.id
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta. (2024, November 5). Keadaan ketenagakerjaan provinsi DKI Jakarta: Agustus 2024 (Berita Resmi Statistik No. 52/11/31/Th.XXVI). Badan Pusat Statistik. https://jakarta.bps.go.id
Antara News. (2024). Segini biaya hidup di Jakarta 2025 berdasarkan UMP, apakah cukup? https://www.antaranews.com/berita/4525891/segini-biaya-hidup-di-jakarta-2025-berdasarkan-ump-apakah-cukup
Twenge, J. (2017). iGen: Why today’s super-connected kids are growing up less rebellious, more tolerant, less happy, and completely unprepared for adulthood. Atria.
(abd)