Jejak Gus Dur Dalam Penegakan Keadilan Ekologis

3 hours ago 3

loading...

Eko Cahyono, Mahasiswa Doktoral Sosiologi Pedesaan IPB University dan Peneliti Sajogyo Institute. Foto/Dok.Pribadi

Eko Cahyono
Mahasiswa Doktoral Sosiologi Pedesaan IPB University dan Peneliti Sajogyo Institute

Jika ...”Memuliakan manusia berarti memuliakan Penciptanya, menistakan dan merendahkan manusia, berarti merendahkan dan menistakan penciptanya” (Gus Dur).

Maka…”Memuliakan alam dan seluruh mahluk ciptaan-Nya berarti memuliakan penciptanya. Merusak dan menistkan alam dan seluruh mahluk ciptaan-Nya, berarti merusak dan menistakan Penciptanya”.

JIKA tak ada aral melintang, Jaringan Gusdurian akan mengadakan Konferensi Pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada bulan Agustus 2025 nanti. Pilihan tema konferensinya adalah “Meneladani Gus Dur Merawat Indonesia.

Diturunkan dalam tiga topik, yaitu Agama dan Etika Sosial, Demokrasi dan Supremasi Sipil, serta Keadilan Ekologi/Lingkungan. Selama ini publik sangat mudah menemukan jejak kontribusi Gus Dur di topik pertama dan kedua, namun masih sedikit yang menguraikan jejaknya di topik ketiga yaitu, keadilan ekologi/lingkungan.

Meskipun, tentu saja, ketiga aspek tersebut sulit difahami secara terpisah dari diri Gus Dur, sebab pengikat gagasan dan jiwa dasarnya masih sama, yakni menjunjung tinggi martabat kemanusiaan dan kehidupan mahluk ciptaan-Nya.

Pernyataan terkenal Gus Dur bahwa "Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan" mengandung makna bahwa nilai-nilai kemanusiaan, seperti kasih sayang, empati, dan keadilan, seharusnya menjadi landasan utama dalam setiap tindakan, termasuk dalam bidang politik.

Politik, yang seringkali identik dengan kekuasaan dan kepentingan, seharusnya tidak mengorbankan martabat dan kesejahteraan manusia berserta kehidupannya. Dengan landasan semacam ini, maka penting dudukan perspektif holistik dalam melihat tapak legacy keteladanan Gus Dur.

Sebab, baginya “guru spiritualitas saya ada realitas, dan guru realitas saya adalah spiritualitas.” Maka, meskipun Gus Dur berkiprah dan berkontribusi di berbagai ranah, baik pembaharuan pemikiran Islam, penegakan pilar demokrasi, pluralisme dan toleransi dan pembela keadilan ekologi/lingkungan, hakekat pesannya sama, melanjutkan profetisme (kenabian) dan transformasi sosial untuk mewujudan keadilan sosial-ekologi.

Jejak Gus Dur dalam Isu Keadilan Ekologi-Lingkungan

Sependek hasil penelusuran Penulis, setidaknya ada delapan situasi sejarah yang dapat dirujuk menjadi “bukti” kepedulian dan konstribusi Gus Dur terkait keadilan ekologi/lingkungan: Pertama, Pelopor dan Inspirator Pembangunan Berbasis Maritim untuk Kedaulatan SDA Laut dan Pesisir.

Pasca dilantik sebagai Presiden ke 4, Gus Dur membuat terobosan penting dengan membentuk Departemen Eksplorasi Laut (DEL) beserta rincian tugas dan fungsinya melalui Keputusan Presiden Nomor 136 Tahun 1999 tanggal 10 November 1999 cikal bakal dari lahirnya Kementerian Kelautan dan Perikanan sekarang.

Disadari atau tidak kebijakan tersebut telah mendorong bangsa Indonesia menggali kembali potensi kehidupan di dunia maritim antara lain. Kelanjutannya adalah penyelenggaraan World Ocean Conference (WOC) di Manado di tahun 2009 yang bertujuan untuk menyatukan komitmen global dalam melestarikan sumber daya laut dan mengatasi dampak perubahan iklim terhadap ekosistem laut.

Selama jadi Presiden Gus Dur menerbitkan peraturan yang mendukung kejayaan maritim Indonesia, yakni Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 52 Tahun 1999 Tentang Konvensi Internasional Tentang Tanggung Jawab Perdata untuk Kerusakan Akibat Pencemaran Minyak, Kepres Nomor 55/1999 tentang Perjanjian Kerjasama Indonesia dengan Jerman dalam bidang pelayaran, dan Kepres Nomor 178/1999 Tentang Ratifikasi Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982 di Indonesia.

Selain itu, dalam berbagai kesempatan, Gus Dur mengingatkan pentingnya kedaulatan atas sumber daya laut. “Sebagian besar wilayah Indonesia adalah perairan laut, karena itu masyarakat kita seharusnya dapat hidup layak dari sumber daya alam yang tersedia di laut,” (Dalam satu seminar di tahun 1992).

Kedua, Pendorong gagasan gerakan hijau (green movement) dalam Partai Politik. Gus Dur menjelaskan bahwa gerakan hijau murni untuk penyelamatan lingkungan, bukan gerakan politik untuk "menyerang" pemerintah, hal inilah yang membedakan dengan Partai Hijau yang ada di Barat.

Singkatnya syarat partai politik hijau ada tiga: Pertama, harus bersifat kultural, bukan politis. Agenda tidak untuk merebut kekuasaan tetapi memastikan agenda hijau itu untuk kelestarian lingkungan.

Kedua, harus bicara tentang nilai-nilai lokal yang hidup, digali dari nilai-nilai lokal nusantara atau living knowledge dengan koridor kebhinekaan. (Deklarasi Hijau Menyelamatkan Lingkungan Bersama Gus Dur, Bali, 2007).

Ketiga, Hasil Deklarasi Hijau Tahun 2007 terdapat enam poin penting, di antaranya adalah meminta pemerintah memutus kontrak karya dengan perusahaan tambang migas dan non migas di hutan dan kawasan lindung.

Berikutnya meminta pemerintah memberlakukan jeda tebang hutan (moratorium logging) hingga 20 tahun yang diikuti dengan restorasi kawasan hutan, serta mengkaji dan mencabut semua peraturan yang berpotensi merusak lingkungan dan sumber daya alam. Hal ini merupakan terobosan penting dan inspirasi bagi upaya cek ulang secara menyeluruh ijin dan konsesi kehutanan secara nasional (audit perizinan).

Read Entire Article
| Opini Rakyat Politico | | |