loading...
PERTAPAAN Pangeran Diponegoro di bulan Ramadan mengilhami perlawanan kepada Sultan Yogyakarta dan Belanda. Foto/Ilustrasi/Instagram AI Nusantara
PERTAPAAN Pangeran Diponegoro di bulan Ramadan mengilhami perlawanan kepada Sultan Yogyakarta dan Belanda. Konon, saat itu Sang Pangeran yang sedang bersemedi mendekatkan diri ke Tuhan-Nya, mendapat bisikan dari yang disebutnya Ratu Adil.
Bisikan itu membuatnya melakukan perlawanan ke Ratu Adil, karena Sultan Yogyakarta yang dinilai pangeran telah melenceng dari ajaran-ajaran agama islam. Apalagi sang Sultan Yogya, yang juga orang tua kandungnya dari selir bernama R.A. Mangkarawati itu dinilai memiliki sifat yang dianggap Pangeran Diponegoro bertolak belakang.
Suatu hari sebagaimana dituliskan dalam memoarnya Diponegoro alasan mengapa ia memberontak ke Sultan Yogyakarta. Tulisan itu dibuat sang pangeran pada 21 Ramadan, ketika ia bersemedi dan konon mendapatkan perintah dari Ratu Adil.
"He, Ngabdulkamid, kupanggil kau kemari rebutlah tanah Jawa. Bila ada orang bertanya dasarnya adalah ayat Qur'an." "Mohon maaf saya tidak sanggup, saya tidak memiliki prajurit," jawab Diponegoro," sebagaimana dikutip dari buku Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia.
Itulah bahasa simbol (perlambang) yang tertulis dalam memoarnya. Antara keinginan yang kuat atau ambisinya dengan keraguannya. Perintah dipahami sebagai suatu tugas kewajiban membangun masyarakat baru di kui sebagai Yogyakarta yang berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Membangun masyarakat baru telah menjadi cita-cita Diponegoro yang dengan mata kepala sendiri melihat meluasnya pengaruh budaya Barat dan ketimpangan ketimpangan sosial-ekonomi, ketidakadilan konflik antar bangsawan di Kesultanan Yogyakarta.
Sejak ayahnya Sultan Hamengkubuwono III memegang tampuk pemerintahan, ia sangat prihatin dan malu terhadap terjadinya konflik suksesi antara kakeknya Sultan Hamengkubuwono II yang taat kepada agama dan adat istiadat keraton, lawan ayahnya yang masih berstatus sebagai Putra Mahkota (Pangeran Adipati Anom) yang berorientasi sekuler, cenderung pada budaya Barat.
Sejak peristiwa itu, ia meninggalkan aktivitas di keraton, hanya melakukan audiensi kepada ayahnya pada hari-hari besar, seperti Garebeg Maulud dan Hari Raya. Ia menilai kakeknya sebagai seorang yang suka melanggar hukum dan tidak menepati janji, seperti membatalkan pencalonan ayahnya sebagai Putra Mahkota.
(rca)