Waspada Upaya Segregasi Masyarakat lewat Narasi Perang Akhir Zaman

8 hours ago 4

loading...

Guru Besar Sejarah Peradaban Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Prof KH Didin Nurul Rosidin. FOTO/IST

JAKARTA - Guru Besar Sejarah Peradaban Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Prof KH Didin Nurul Rosidin memperingatkan masyarakat Indonesia agar mewaspadai narasi perang akhir zaman yang dikaitkan dengan konflik India-Pakistan. Menurutnya, narasi semacam ini tidak hanya keliru secara historis, tetapi juga berpotensi menimbulkan segregasi sosial dan radikalisasi masyarakat.

Prof. Didin menilai bahwa konflik antara India dan Pakistan merupakan akumulasi persoalan sejarah yang kompleks, mencakup dimensi politik, sosial, budaya, dan ekonomi, bukan perang agama sebagaimana digambarkan dalam framing apokaliptik oleh sebagian pihak. Ia menyebut framing umat Islam (Pakistan) vs orang kafir (India) sebagai narasi yang berbahaya karena mempolarisasi masyarakat dan memicu kekerasan.

"Narasi semacam ini cenderung menimbulkan polarisasi tajam, memicu radikalisasi, dan menggerus upaya perdamaian serta diplomasi yang sejatinya sangat diperlukan untuk menghindari eskalasi militer, bahkan nuklir, di kawasan Asia Selatan," kata Prof. Didin.

Ia mengingatkan bahwa retorika “perang akhir zaman” sering kali dimanfaatkan oleh kelompok ekstremis untuk membenarkan tindakan kekerasan dan merekrut anggota baru. Framing seperti ini juga dapat mendorong tindakan individu secara spontan (lone wolf) yang merasa terpanggil untuk berjihad atas nama agama menjelang kiamat.

Dalam konteks Indonesia, Prof. Didin menilai bahwa pengaitan konflik India–Pakistan dengan situasi dalam negeri sangat tidak relevan. Ia menegaskan bahwa sejarah Indonesia dibangun di atas semangat persatuan dalam keberagaman, bukan atas dasar homogenitas agama.

"Indonesia itu dibangun dan akan selalu dibangun oleh keanekaragaman, tidak hanya budaya tetapi juga keimanan. Kalau kita bicara dari Sabang sampai Merauke, itu adalah bicara tentang Bhinneka Tunggal Ika," terangnya.

Prof. Didin juga mengkritik upaya membandingkan situasi Indonesia dengan konflik India–Pakistan. Menurutnya, sejarah masing-masing negara bersifat unik dan tidak bisa disamaratakan. Ia mencontohkan bagaimana kolaborasi lintas iman menjadi kekuatan bangsa Indonesia, mulai dari Sumpah Pemuda hingga perjuangan kemerdekaan dan revolusi fisik.

"Perjuangan bangsa ini bukan hanya milik satu kelompok. Kita mengenal Johannes Leimena yang bukan Muslim tetapi punya komitmen kuat untuk Indonesia merdeka. Sementara ada juga tokoh Muslim seperti Sultan Hamid II yang justru pro-Belanda," ungkapnya.

Ia menambahkan, pemahaman agama semestinya didasarkan pada akal sehat dan cinta kasih kepada sesama manusia, sebagaimana diajarkan dalam berbagai tradisi keislaman. Ia mengutip pandangan Ibn Arabi yang menyebut bahwa tingkatan tertinggi pemahaman agama adalah *mahabbah* (cinta).

"Kalau cinta berdasarkan agama, seharusnya juga cinta terhadap sesama manusia. Kalau agama dihadirkan untuk merusak manusia, justru itu melenceng dari misi agama yang sesungguhnya," kata Prof. Didin.

Ia mengajak masyarakat Indonesia untuk menghindari penyalahgunaan teks-teks agama sebagai pembenaran kekerasan dan permusuhan. Ia memperingatkan agar tidak menjadikan posisi Tuhan sebagai justifikasi untuk bersikap semaunya.

"Kalau ajaran agama dimaknai dengan hitam-putih, bahwa A itu musuh saya dan B kawan saya, sesungguhnya kita sedang mengambil posisi Tuhan. Ini sangat berbahaya karena menunjukkan keegoisan manusia yang merasa benar sendiri," katanya.

(abd)

Read Entire Article
| Opini Rakyat Politico | | |