loading...
Kata narsis kini menjadi istilah umum di media sosial, menggambarkan orang yang gemar menampilkan dirinya. Narsis bisa berkembang menjadi gangguan jiwa. Foto/iStock Photo
JAKARTA - Kata narsis kini menjadi istilah umum di media sosial, menggambarkan orang yang gemar menampilkan dirinya secara berlebihan di dunia maya. Namun secara psikologis, narsis berbeda makna dan bahkan bisa berkembang menjadi gangguan jiwa jika tidak ditangani dengan tepat.
Meski terlihat sepele, dorongan terus-menerus untuk tampil dan mendapatkan validasi publik bisa berdampak pada kesehatan mental. Bahkan, dalam dunia psikologi, perilaku semacam ini bisa mengarah pada gangguan kepribadian narsistik atau Narcissistic Personality Disorder (NPD).
Apa Itu Narsis dan Bagaimana Asalnya?
Secara psikologis, narsis merujuk pada perilaku mencintai diri sendiri secara berlebihan hingga meragukan penilaian positif dari orang lain. Orang yang narsis kerap merasa dirinya paling benar dan hebat, yang mana pengakuan atas kehebatannya hanya boleh datang dari dirinya sendiri.
Istilah ini berasal dari mitologi Yunani, dari kisah tragis Narkissos, seorang pemuda yang terpesona pada bayangan dirinya sendiri di permukaan air hingga akhirnya tenggelam karena terlalu larut dalam kekaguman terhadap dirinya.
Konsep ini kemudian diangkat oleh Sigmund Freud, pelopor psikoanalisis modern, sebagai dasar pembentukan istilah "narsisme" dalam dunia psikologi.
Menurut psikologi, narsis merupakan sikap mencintai diri sendiri secara berlebihan dan membutuhkan pengakuan diri terus-menerus. Konsep ini berasal dari tokoh mitologi Yunani, Narkissos, yang akhirnya tenggelam karena terlalu terobsesi dengan bayangan dirinya sendiri.
Narsis Bukan Percaya Diri
Salah kaprah umum yang sering terjadi adalah menyamakan narsis dengan percaya diri. Padahal, keduanya sangat berbeda. Kepercayaan diri lahir dari pencapaian nyata, kerja keras, dan rasa syukur atas hasil yang diraih, serta tetap menghargai orang lain dalam prosesnya.