Strategi Sun Tzu dalam Kerusuhan Aksi Massa

7 hours ago 5

loading...

Syaifudin, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Jakarta (FISH UNJ). Foto/Dok Pribadi.

Syaifudin

Dosen FISH UNJGelombang aksi massa mahasiswa dan masyarakat pada penghujung Agustus 2025 menorehkan catatan penting dalam sejarah demokrasi Indonesia. Aksi yang bermula dengan semangat damai untuk menyampaikan aspirasi tentang ketidakadilan struktural, beban hidup, dan keresahan sosial, pada akhirnya berubah menjadi rentetan peristiwa kerusuhan.

Dari perusakan, pembakaran, penjarahan, hingga bentrokan fisik antara masyarakat sipil dengan aparat kepolisian. Pergeseran ini menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah eskalasi tersebut murni lahir dari spontanitas massa, ataukah ia merupakan skenario yang dirancang secara sistematis oleh aktor-aktor tertentu yang memanfaatkan momentum?Pada aspek sosiologi politik, aksi massa jarang sekali bergerak secara tunggal tanpa kepentingan yang membonceng. Selalu ada berbagai aktor yang bermain (baik individu maupun kelompok), yang berusaha mengarahkan energi kolektif massa untuk kepentingan strategis tertentu.Dalam konteks unjuk rasa akhir-akhir ini, aktor-aktor yang terlibat dapat dibagi menjadi tiga lapis. Pertama, aktor utama yakni mahasiswa, buruh, dan kelompok masyarakat sipil yang mengartikulasikan aspirasi. Mereka adalah wajah nyata dari keresahan publik. Kedua, aktor bayangan yang terdiri atas kelompok politik, oligarki ekonomi, maupun faksi kekuasaan yang memiliki kepentingan tersembunyi. Kelompok ini tidak tampil di jalan, namun mengoperasikan narasi, pendanaan, serta jaringan untuk mengarahkan arus protes. Kelompok ini juga memiliki motif tujuan, dari tujuan politik, ekonomi, hingga aksi balas dendam.

Ketiga, aktor lapangan berupa “agent provocateu” (agen provokasi) yang bertugas mengacaukan situasi. Mereka inilah yang menyalakan api, melempar batu pertama, hingga membakar fasilitas publik untuk menggeser makna aksi dari “protes damai” menjadi “kerusuhan”.

Terkhusus untuk aktor “agent provocateu” yang disusupkan ke dalam barisan massa, mereka menyusup di tengah kerumunan untuk memicu bentrokan atau melakukan tindakan anarkis, dengan tujuan agar opini publik berbalik menolak aksi murni mahasiswa dan masyarakat. Berdasarkan pengamatan sederhana penulis melalui tayangan yang beredar luas di media sosial, tampak adanya kesamaan wajah dari individu-individu tertentu yang muncul berulang kali dalam momen bentrokan, perusakan, hingga pembakaran, khususnya di wilayah Jakarta.

Keberadaan “agent provocateu” ini juga ada pada peristiwa tahun 1998. Namun yang membedakan, pada 1998 lebih banyak didominasi orang dewasa dengan afiliasi tertentu, sementara kini terlihat pula anak-anak remaja yang turut andil dalam peran tersebut. Fakta ini memperlihatkan bahwa skenario provokasi semakin kompleks, sekaligus mencerminkan adanya eksploitasi generasi muda dalam pusaran konflik sosial dan politik.

Read Entire Article
| Opini Rakyat Politico | | |