Soal Imunitas Jaksa, Ketua BEM FH UBK: Bertentangan dengan Prinsip Kesetaraan

4 hours ago 1

loading...

Ketua BEM Fakultas Hukum UBK Syahril Syafiq Corebima menyoroti imunitas jaksa yang diatur dalam UU Kejaksaan, khususnya Pasal 8 Ayat 5. Foto/Dok. SindoNews

JAKARTA - Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Bung Karno (UBK) Syahril Syafiq Corebima menyoroti imunitas jaksa yang diatur dalam UU Kejaksaan, khususnya Pasal 8 Ayat 5. Ia menilai aturan tersebut memberikan kekuasaan berlebih bagi kejaksaan .

“Seperti yang kita ketahui, imunitas jaksa dalam UU Kejaksaan saat ini menjadi sorotan. Di kalangan mahasiswa, hal ini juga menjadi bahan diskusi, terutama terkait Pasal 8 Ayat 5 yang menyatakan bahwa pemanggilan, pemeriksaan, hingga penahanan jaksa hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Jaksa Agung,” katanya dalam Diskusi Publik bertema “Tom Lembong, Keadilan, dan Imunitas Jaksa” yang diselenggarakan secara daring oleh Forum Kajian Demokrasi Kita (FOKAD), Jumat (14/3/2025).

Ia menilai ketentuan ini bertentangan dengan prinsip kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law). Alasannya ketentuan itu memberikan perlakuan khusus kepada jaksa dibandingkan aparat penegak hukum lainnya.

“Jika seorang jaksa melakukan tindak pidana, aparat penegak hukum lain seperti kepolisian harus menunggu persetujuan Jaksa Agung sebelum bisa melakukan pemeriksaan. Ini tentu memberikan ruang bagi oknum jaksa untuk melarikan diri atau menghindari proses hukum,” tegasnya.

Lebih lanjut, Syahril mengatakan, bahwa hak imunitas memang diperlukan bagi jaksa, tetapi hanya dalam konteks menjalankan tugas secara professional. Bukan sebagai tameng dari tindakan yang menyimpang.

“Saya pikir hak imunitas terhadap jaksa itu sudah cukup jelas, yakni dalam hal mereka menjalankan tugas secara profesional, mereka tidak bisa dituntut. Tapi ketika seorang jaksa melakukan tindak pidana, lalu harus menunggu izin Jaksa Agung sebelum diperiksa, ini jelas memberikan perlindungan yang tidak wajar bagi mereka,” paparnya.

Menurutnya, jika aturan ini tidak direvisi, maka peluang penyalahgunaan wewenang dalam tubuh kejaksaan bisa semakin besar. “Lalu ketika Pasal 8 Ayat 5 ini tetap berlaku, sudah barang tentu penyalahgunaan kewenangan di dalam tubuh Kejaksaan itu akan terus terjadi. Karena ini memberikan jaksa ruang untuk menjadi lembaga yang ‘super power’,” ujarnya.

Ia pun menegaskan perlunya revisi terhadap aturan tersebut agar tidak menciptakan ketimpangan dalam penegakan hukum. “Sehingga perlu adanya pertimbangan bagaimana Pasal 8 ini dapat diubah agar tidak menimbulkan ketidakadilan. Jangan sampai Kejaksaan malah menjadi lembaga yang tak tersentuh hukum,” tandasnya.

(poe)

Read Entire Article
| Opini Rakyat Politico | | |