loading...
Krakatau Steel terus mengambil langkah strategis dalam menghadapi tantangan perdagangan global, termasuk proteksionisme perdagangan dan praktik dumping baja murah dari berbagai negara. Foto/Dok
JAKARTA - PT Krakatau Steel (Persero) Tbk terus mengambil langkah strategis dalam menghadapi tantangan perdagangan global, termasuk proteksionisme perdagangan dan praktik dumping baja murah dari berbagai negara.Sebagai salah satu produsen baja terbesar di Indonesia, Krakatau Steel berkomitmen untuk memperkuat daya saing industri baja nasional melalui berbagai inisiatif dan kebijakan.
Dalam beberapa tahun terakhir, proteksionisme perdagangan yang diterapkan oleh negara-negara besar, seperti Amerika Serikat, telah memengaruhi dinamika pasar baja global. Kebijakan tarif tinggi untuk impor baja di AS menyebabkan produsen baja dari China mencari pasar alternatif, termasuk Indonesia.
Hal ini berdampak pada meningkatnya impor baja murah ke dalam negeri, yang berpotensi melemahkan industri baja nasional. Hambatan yang dihadirkan pada pasar sebagai konsekuensi dari kebijakan AS menyebabkan produsen mencari pasar yang “longgar.” Pasar Indonesia pun menjadi tujuan produsen baja dari China.
Menurut data terbaru, impor baja dari China ke Indonesia pada semester I 2024 meningkat sebesar 34% secara tahunan, dari 2,23 juta ton menjadi 2,98 juta ton. Kondisi ini menekan harga baja domestik dan berdampak pada kinerja keuangan Krakatau Steel.
Pada kuartal III 2024, Krakatau Steel mencatat pendapatan sebesar USD657,5 juta dengan volume penjualan baja mencapai 535,2 ribu ton. Namun, tingginya beban keuangan dan persaingan harga menyebabkan perusahaan mengalami rugi bersih sebesar Rp2,80 triliun pada periode yang sama.
Seiring dengan beroperasi kembali pabrik Hot Strip Mill (HSM) yang telah berhenti selama satu setengah tahun, serta permintaan domestik yang terus mengalami pertumbuhan serta dukungan pemerintah, Krakatau Steel optimis akan mengalami pertumbuhan dan mencapai target yang dicanangkan di tahun ini. Pabrik ini memiliki kapasitas sebesar 2,4 juta ton per tahun. Berdasarkan kemampuan HSM saat ini, secara konsolidasi Krakatau Steel berpotensi mencatatkan pendapatan senilai Rp25 triliun.
Ahli Bidang Hukum Perdagangan dan Bisnis sekaligus pengajar di Departemen Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia, Adiwarman menilai bahwa kebijakan perlindungan industri nasional harus berjalan seiring dengan upaya peningkatan daya saing perusahaan.
“Indonesia perlu memiliki kebijakan yang seimbang antara proteksi industri baja nasional dan peningkatan efisiensi produksi. Dengan strategi yang tepat, Krakatau Steel dapat tetap menjadi pemain utama dalam industri baja internasional,” ujarnya.
Namun perlu kehati-hatian dalam memberlakukan kebijakan perlindungan yang dapat diartikan sebagai proteksionisme, karena Indonesia adalah negara pihak dalam WTO. Persyaratan penerapan kebijakan proteksionistik berdasarkan WTO adalah seperti keadaan darurat atau safeguards akibat kerugian yang amat serius atau ancaman kerugian serius (Lestari 2010). Perlu dipastikan kondisi yang dimaksud untuk menerapkan kebijakan perlindungan.