Menyoal Rangkap Jabatan Wamen

9 hours ago 4

loading...

Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Pamulang (Unpam), Bachtiar. FOTO/DOK.PRIBADI

Bachtiar
Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Pamulang

RANGKAP jabatan bagi pejabat pemerintah di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali menjadi perbincangan. Salah satu poin kritis yang muncul belakangan adalah penunjukan Wakil Menteri (Wamen) sebagai komisaris di beberapa BUMN yang penting. Tindakan ini jelas mengundang kontroversi. Walaupun tampak sah dari segi administrasi, praktik ini memunculkan pertanyaan mendasar mengenai pengelolaan pemerintahan, etika publik, dan efektivitas pengawasan terhadap perusahaan milik negara.

Dengan pertanyaan yang sederhana, apakah Wamen diperbolehkan memiliki jabatan ganda sebagai komisaris BUMN? Jika iya, apakah tindakan ini sesuai dengan tujuan reformasi birokrasi dan peningkatan tanggung jawab publik?

Alasan yang sering diungkapkan adalah BUMN merupakan aset negara, sehingga harus "dijaga" kepentingannya dengan adanya pejabat tinggi kementerian di posisi komisaris. Bahkan, banyak yang berpendapat bahwa keberadaan Wamen di BUMN adalah representasi langsung negara dalam pengelolaan perusahaan. Namun, sekali lagi, perlu ditanyakan apakah penempatan Wamen sebagai komisaris benar-benar merupakan cara untuk melindungi kepentingan negara? Tidakkah ada masalah etika dan konflik kepentingan dalam praktik ini?

Legalitas Tanpa Legitimasi Etis

Secara normatif, tidak ada larangan eksplisit bagi Wamen merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN. Larangan merangkap jabatan sebagai komisaris pada BUMN justru secara imperatif hanya dikenakan kepada Menteri, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU 39/2008 tentang Kementerian Negara. Demikian pula dalam Perpres 60/2012 jo Perpres 47/2009, hanya menyebutkan Wamen, dapat berasal dari PNS atau non PNS, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri, serta bertugas membantu Menteri dalam memimpin pelaksanaan tugas Kementerian, dengan ruang lingkup bidang tugas yang begitu luas.

Kekosongan hukum yang bersifat imperatif ini justru membuka ruang tafsir yang digunakan sebagai alat legitimasi administratif untuk mengisi jabatan komisaris BUMN dari pejabat setingkat Wamen. Di sinilah masalahnya, bahwa memang diakui dalam beberapa hukum positif tidak ada norma yang secara jelas melarang Wamen untuk menjabat sebagai komisaris BUMN. Meskipun begitu, bukan berarti tindakan tersebut otomatis dapat dibenarkan.

Dari sudut pandang etika dan tata kelola pemerintahan yang baik, praktik ini sangat bermasalah dan tidak sesuai dengan semangat reformasi birokrasi, serta dapat merusak kepercayaan publik terhadap integritas pemerintah. Legalitas bukanlah satu-satunya indikator dalam setiap keputusan kebijakan publik, terutama jika mengabaikan legitimasi etis dan kepentingan publik yang lebih luas.

Read Entire Article
| Opini Rakyat Politico | | |