Menyambut Fatwa 102 MUI: ZIS untuk Jaminan Sosial, Tameng Bagi Pekerja Rentan

8 hours ago 5

loading...

A. Toha Almansur, Waketum Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KB PII). Foto/Istimewa

A. Toha Almansur
Waketum Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KB PII) dan Direktur Penghimpunan Lembaga Amil Zakat Infak dan Sadaqah Kemandirian Umat (LAZISKU).

MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) telah melahirkan sebuah terobosan fiqih yang "revolusioner" dengan mengeluarkan fatwa yang memperbolehkan dana Zakat, Infak, dan Sedekah (ZIS) untuk membiayai iuran BPJS Ketenagakerjaan bagi pekerja rentan. Langkah ini bukan sekadar jawaban atas persoalan kekinian, melainkan fondasi kokoh bagi masa depan jaminan sosial di Indonesia.

Fatwa ini menjadi pembaru paradigma yang mengalihkan zakat dari bentuk yang bersifat konsumtif menuju strategi yang visioner dan preventif, selaras dengan tujuan syariat Islam untuk menjaga jiwa (ḥifẓ al-nafs) dan harta (ḥifẓ al-māl). Mengapa fatwa ini begitu krusial? Jawabannya terpampang nyata dalam kehidupan sehari-hari para pekerja rentan dan miskin di Indonesia.

Kelompok yang mencakup buruh harian lepas, pekerja gig, dan pedagang kecil ini sering terjepit dalam dilema pahit: memenuhi kebutuhan pokok hari ini atau menyisihkan uang untuk iuran jaminan sosial yang melindungi masa depan mereka. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 menunjukkan bahwa hampir 49 juta orang masih belum menjadi peserta BPJS Kesehatan.

Setiap kali penyakit datang, banyak dari mereka terpaksa menjual aset berharga, berutang, atau mengorbankan pengobatan—sebuah pilihan yang berujung pada produktivitas yang anjlok dan jerat kemiskinan yang makin dalam. Biaya pengobatan penyakit kritis kerap menjadi pintu langsung menuju kemiskinan yang tak terelakkan.

Dari perspektif ketenagakerjaan, puluhan juta pekerja belum tercakup dalam program jaminan sosial. Bayangkan seorang kepala keluarga yang tiba-tiba di-PHK tanpa akses kepada Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Dalam sekejap, ia dan keluarganya bisa terperosok dalam kubangan kesulitan.

Belum lagi risiko kecelakaan kerja yang mengintai pekerja sektor informal seperti konstruksi atau transportasi, di mana sebuah insiden tidak hanya melukai tubuh tetapi juga menghancurkan mata pencaharian seluruh keluarga. Inilah yang disebut kerentanan sosial, di mana satu musibah saja cukup untuk menjatuhkan keluarga yang sudah pas-pasan ke dalam kemiskinan absolut.

Read Entire Article
| Opini Rakyat Politico | | |