Menjaga Investasi lewat Audit Independen untuk Jamin Data Sawit

7 hours ago 4

loading...

Upaya pemerintah menertibkan penguasaan lahan sawit melalui Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) dinilai penting untuk memperbaiki tata kelola sumber daya alam. Foto/Dok

JAKARTA - Upaya pemerintah menertibkan penguasaan lahan sawit melalui Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) dinilai penting untuk memperbaiki tata kelola sumber daya alam. Namun, pakar hukum kehutanan Dr. Sadino mengingatkan, perlunya kehati-hatian dan ketepatan data agar kebijakan tersebut tidak menimbulkan ketidakpastian hukum maupun dampak negatif bagi investasi nasional .

Ia menyoroti data dari Rapat Kerja Komisi VI DPR RI bersama PT Agrinas Palma Nusantara pada 23 September 2025 yang menunjukkan ketidaksesuaian antara klaim Satgas PKH dan kondisi lapangan. Dari total 833.413 hektare lahan yang diserahkan kepada Agrinas dalam Tahap I–III, hanya 61% yang tertanam sawit, sementara 39% sisanya merupakan lahan kosong.

Menurut Sadino, tindakan Satgas PKH menguasai kembali lahan kosong tidak sah jika didasarkan pada Pasal 110B Undang-Undang Cipta Kerja, karena pasal itu hanya berlaku untuk kebun sawit yang telah terbangun. Baca Juga: Kepastian Status Lahan Kunci Sukses PT Agrinas Kelola 1,5 Juta Hektar Sawit

“Secara hukum, lahan kosong atau semak belukar tidak bisa dikategorikan sebagai kebun yang telah terbangun. Jika Satgas tetap menggunakan pasal ini, maka terjadi error in objecto,” dan menyebabkan data kebun tidak valid ujar Sadino dalam keterangannya.

Sadino juga mengingatkan, agar data yang digunakan Satgas PKH tidak dijadikan dasar langsung untuk penetapan denda. Berdasarkan PP No. 24 Tahun 2021 dan PP No. 45 Tahun 2025 sebagai turunan dari UU Cipta Kerja, perhitungan denda administratif seharusnya didasarkan pada luas kebun terbangun dan status kawasan hutan.

“Jika denda dihitung dari total lahan 100% padahal yang tertanami hanya 61%, maka denda itu berlebih dan cacat hukum,” tegas dosen Universitas Al Azhar Indonesia ini.

Ditambahkan juga bahwa, UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mewajibkan setiap keputusan pemerintah didasarkan pada data yang akurat. “Kalau data tidak akurat tapi tetap dijadikan dasar kebijakan, itu bisa termasuk maladministrasi. Apalagi jika ketidakakuratan itu disengaja untuk mengejar target luasan atau PNBP, maka termasuk penyalahgunaan wewenang,” jelasnya.

Read Entire Article
| Opini Rakyat Politico | | |