loading...
Foto: Doc. Istimewa
Di tengah era yang didorong oleh kecepatan, efisiensi, dan kecerdasan buatan, ada satu pertanyaan besar yang mulai muncul di benak banyak orang: apakah kreativitas manusia perlahan-lahan tersingkir? Kita hidup di zaman ketika hampir semua hal bisa dibuat lebih cepat, lebih sederhana, dan lebih otomatis. Foto bisa diedit lewat preset, desain dibuat lewat template, bahkan karya ilustrasi pun bisa dihasilkan dalam hitungan detik. Namun, justru di balik kenyamanan itu, banyak yang merasa ada sesuatu yang hilang nilai personal yang hanya bisa lahir dari proses kreatif manual.
Kita mungkin tak menyadarinya, tapi kreativitas adalah bagian dari identitas manusia. Sejak zaman dulu, manusia membuat tanda, goresan, dan simbol di dinding gua. Dari situlah perjalanan panjang seni dimulai. Aktivitas kreatif bukan sekadar hobi; ia adalah cara manusia memahami dunia. Ironisnya, di era modern, kreativitas sering dianggap “opsional,” seakan tidak sepenting kesibukan produktivitas yang dianggap lebih bernilai.
Namun, penurunan ini bukan karena kemampuan manusia melemah. Masalahnya justru terletak pada bagaimana dunia modern memaksa kita memilih kecepatan dibanding kedalaman. Waktu yang dulu kita pakai untuk menggambar, menulis, atau merangkai sesuatu kini habis untuk scroll layar. Kita lebih banyak mengonsumsi daripada mencipta. Dan semakin sedikit waktu yang tersisa untuk menciptakan sesuatu dengan tangan kita sendiri, semakin tipis pula hubungan kita dengan kreativitas yang bersifat personal.
Padahal, proses kreatif menawarkan sesuatu yang tidak bisa digantikan mesin mana pun: pengalaman emosional. Menyentuhkan kuas ke kanvas, merasakan tekstur kertas, menekan pensil hingga membentuk bayangan semua itu bukan sekadar aktivitas fisik. Ada relaksasi, fokus, bahkan keintiman tertentu yang membuat prosesnya terasa hidup. Setiap seniman, baik pemula maupun profesional, pasti tahu bahwa seni bukan hanya tentang hasil akhirnya, tetapi tentang perjalanan menciptakannya.
Karena itu, ketika kreativitas mulai terpinggirkan, yang hilang bukan hanya karya seni. Yang hilang adalah ruang refleksi, waktu sunyi, dan kesempatan untuk kembali menjadi manusia bukan sekadar konsumen informasi. Banyak penelitian menunjukkan bahwa aktivitas kreatif dapat menurunkan stres, meningkatkan kesehatan mental, dan membuka ruang ekspresi yang tidak bisa diberikan oleh dunia digital. Tidak heran tren aktivitas seperti journaling, melukis, clay crafting, dan sketching kembali naik beberapa tahun belakangan.
Dalam banyak kasus, kreativitas justru kembali menjadi bentuk “perlawanan halus” terhadap dunia yang serba cepat. Orang mulai mencari kegiatan yang melambatkan waktu, yang membuat mereka kembali sadar atas perasaan dan pikiran sendiri. Kesadaran inilah yang membuat banyak orang menyadari bahwa mereka sebenarnya rindu dengan proses mencipta sesuatu dengan tangan mereka sendiri.
Namun, tentu tidak semua orang tahu dari mana harus memulai. Dunia seni sering dianggap rumit, mahal, atau hanya untuk orang yang sudah terlatih. Padahal, pintu masuknya bisa sangat sederhana: satu sketchbook, satu pensil yang enak, atau satu set cat air. Kreativitas bukan tentang bakat, melainkan tentang keberanian untuk mencoba.






























