loading...
Presiden ke-25 AS William McKinley dan Presiden AS Donald Trump. FOTO/DTN
JAKARTA - Kebijakan tarif Presiden Donald Trump yang belakangan ini mengguncang pasar global terinspirasi dari seorang tokoh sejarah Amerika Serikat (AS). Trump menyebut nama William McKinley, Presiden ke-25 AS, sebagai sosok yang mengilhami pendekatannya terhadap kebijakan tarif.
William McKinley dikenal sebagai penggagas Undang-Undang Tarif pada tahun 1890-an sebagai undang-undang proteksionis yang kemudian dikenal sebagai McKinley Tariff Act.
Saat itu, tarif lebih dari 50% diberlakukan terhadap banyak barang impor, sebuah langkah yang diklaim untuk melindungi industri dalam negeri. Trump, dalam kampanye tahun 2024 di Michigan, secara terbuka memuji kebijakan tarif McKinley.
"Pada tahun 1890-an, negara kita mungkin adalah negara terkaya yang pernah ada karena sistem tarif," kata Trump. "Kami memiliki seorang presiden, Anda tahu McKinley?"
Sejak kembali ke Gedung Putih, Trump mulai menerapkan kebijakan tarif agresif. Ia memberlakukan tarif 25 persen terhadap semua impor baja dan aluminium. Awal tahun ini, tarif serupa juga dikenakan terhadap sejumlah besar barang dari Kanada dan Meksiko, meskipun kemudian ditangguhkan selama 30 hari.
Terbaru, Trump meluncurkan tarif yang ia sebut sebagai "Hari Pembebasan", yang akan memengaruhi berbagai produk di hampir semua aspek kehidupan masyarakat. Pengumuman tersebut, yang disampaikan pada Rabu, kembali mengguncang pasar global dan memicu kekhawatiran akan naiknya harga-harga kebutuhan di Amerika Serikat.
Namun, kebijakan tarif tidak selalu menghasilkan efek yang diharapkan. Sejarah mencatat, ketika McKinley masih menjabat sebagai anggota Kongres dari Ohio, kebijakan tarifnya memang berdampak besar terhadap ekonomi, tetapi juga menuai ketidakpuasan publik. Dalam pemilu sela tahun 1890, banyak anggota Partai Republik kehilangan kursi mereka, termasuk McKinley yang kemudian mengubah pandangannya tentang perdagangan luar negeri setelah menjadi presiden.
"Ini adalah proteksionisme pada puncaknya," ujar William K. Bolt, profesor sejarah di Francis Marion University, South Carolina, kepada Business Insider. "Dan ada reaksi politik yang signifikan terhadapnya."
(nng)