Amphuri: Pasal Karet soal Kuota 8 Persen dalam RUU Haji dan Umrah Harus Direvisi!

10 hours ago 6

loading...

Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri) menolak keras rumusan Pasal 8 Ayat 4 dalam draf revisi UU Haji dan Umrah. Foto/Istimewa

JAKARTA - Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia ( Amphuri ) menolak keras rumusan Pasal 8 Ayat 4 dalam draf revisi UU Haji dan Umrah yang menyebut “kuota haji khusus paling tinggi 8 persen”. Ketua Umum Amphuri Firman M. Nur menyebut frasa tersebut multitafsir dan berbahaya karena bisa dimanipulasi menjadi lebih rendah dari angka itu.

“Kalau disebut ‘paling tinggi’, artinya bisa 5 persen, 3 persen, bahkan 0 persen. Ini pasal karet,” ujarnya di Jakarta, Jumat (1/8/2025).

Amphuri menyebut ketentuan ini sebagai kemunduran dari UU No. 8 Tahun 2019 yang menyatakan kuota haji khusus ditetapkan sebesar 8 persen. Jika rumusan baru dibiarkan, kata Firman, akan muncul ketidakpastian hukum yang mengancam keberlangsungan layanan PIHK (Penyelenggara Ibadah Haji Khusus) dan merugikan jamaah.

Baca juga: Tok! RUU Haji dan Umrah Resmi Jadi Usul Inisiatif DPR

“Kami minta pasal itu diubah menjadi: kuota haji khusus ditetapkan sekurang-kurangnya 8 persen dari kuota nasional,” tegasnya.

Saat ini, ada lebih dari 900 PIHK yang melayani ribuan calon jamaah haji khusus setiap tahun. Layanan ini dinilai berjalan profesional dan tidak pernah mengganggu penyelenggaraan haji reguler.

Data historis menunjukkan kuota haji khusus selama lebih dari satu dekade stabil di angka 7–8 persen dari total kuota nasional. Pada 2024, misalnya, dari 221.000 kuota haji nasional, sekitar 17.000 dialokasikan untuk haji khusus.

Amphuri juga membandingkan kebijakan Indonesia dengan negara-negara lain. Di Turki, dari 80.000 kuota haji, 60 persen dikelola oleh pihak swasta. Di Pakistan, dari 179.000 kuota, 50 persen diserahkan ke swasta.

Malaysia memberikan porsi 20 persen. Sementara Indonesia, hanya 8 persen yang dipercayakan kepada PIHK. “Arab Saudi sendiri memberi porsi besar ke swasta. Kita seharusnya bisa menyesuaikan,” ujar Kabid Litbang DPP Amphuri Ulul Albab.

Ia menilai amandemen UU Haji dan Umrah harus mencerminkan semangat reformasi tata kelola haji yang modern dan inklusif. Apalagi Arab Saudi lewat Visi 2030 mendorong transformasi pelayanan haji yang lebih terbuka dan berbasis digital.

“Haji itu sangat berkaitan langsung dengan kebijakan Arab Saudi. Kita tidak bisa bergerak sendiri, harus selaras,” katanya.

Dalam sidang paripurna DPR pada 24 Juli 2025, hanya Fraksi PKS yang secara eksplisit menyebut batas maksimal kuota haji khusus 8 persen. Tujuh fraksi lainnya tidak mengatur pembatasan itu.

Amphuri berharap masukan dari asosiasi pelaku usaha resmi bisa didengar agar RUU ini tidak menghilangkan hak masyarakat memilih layanan haji yang sah dan berkualitas.

(rca)

Read Entire Article
| Opini Rakyat Politico | | |